Ads 468x60px

Rabu, 09 November 2011

Tulisan Dahlan Iskan, diposting dari Milist Sekar DPD-CO

Puasa Sebulan Tanpa Maaf Lahir Bathin


Saya terkesan dengan pemikiran Pak Dahlan Iskan yang fresh dan keluar dari kotak pemikiran orang pada umumnya. Berikut saya sajikan buat para pembaca, semoga bermanfaat.



Bulan puasa datang terlalu cepat di PLN. Mulai 1 Mei nanti orang-orang PLN sudah harus puasa: puasa SPPD. Satu bulan penuh tidak akan ada biaya perjalanan dinas. Orang-orang PLN ingin membuktikan bahwa SPPD bukanlah sumber mata pencaharian tambahan. SPPD bukanlah perjalanan gratis untuk tujuan yang kurang penting. SPPD bukanlah sumber pemborosan perusahaan.


Tentu banyak juga yang tidak setuju diberlakukannya “puasa SPPD” ini. Ada yang menggunakan alasan ilmiah, ada juga yang sekedar emosional. Bahkan ada yang memperalat senjata anti korupsi yang lagi digalakkan di PLN: puasa SPPD ini akan membuat korupsi berkembang karena pada bulan Mei tidak ada pengawasan. Pokoknya macam-macam alasan yang dikemukakan. Intinya ada yang keberatan bulan Mei ditetapkan sebagai bulan tanpa SPPD. Untunglah mayoritas menyatakan bangga bahwa PLN berani mencoba berbuat radikal dalam memperbaiki dirinya.


Banyak hikmah yang akan kita dapat dari “puasa SPPD” sebulan penuh ini. Penggunaan teknologi telewicara akan meningkat. Selama ini PLN sudah menyewa mahal teknologi telewicara tapi jarang sekali dimanfaatkan. Banyak juga persoalan bisa diselesaikan dengan email, tapi cara modern dan murah ini masih belum sepenuhnya menjadi budaya.


Di PLN ini terlalu banyak rapat. Dosa terbesar dilakukan PLN Pusat. Undangan rapat dari PLN Pusat luar biasa banyaknya. Bahkan sering tidak masuk akal. Rapatnya dua jam tapi SPPD-nya bisa dua hari. Ini karena ketika menentukan jam rapat tidak mempertimbangkan efisiensi SPPD. Misalnya saja mengundang rapat jam 09.00. Peserta yang dari luar Jakarta mau tidak mau sudah datang sehari sebelumnya. Ada juga persoalan “siapa” mengundang “siapa”. Terlalu banyak pejabat yang mengundang pejabat lainnya.


Memang agak gila juga penetapan “puasa SPPD” ini. Misalnya bagaimana kalau terjadi bencana, katakanlah, ada tower yang roboh. Masak, sih, tidak ada SPPD? Khusus untuk yang satu ini Direksi berdebat panjang. Semula ada keinginan agar “untuk hal-hal yang emergensi akan ada pengecualian”. Tapi pendapat ini lemah karena di negeri ini terlalu gampang menetapkan yang kurang emergensi menjadi sangat emergensi. Lalu ada pikiran “untuk hal-hal yang luar biasa bisa minta dispensasi”. Ini pun dianggap lemah karena akan menimbulkan administrasi birokrasi yang ruwet. Maka, akhirnya ditetapkan: tidak ada pengecualian, tidak ada dispensasi, tidak ada toleransi. Semua itu dianggap godaan yang harus dilawan. Sekali pemimpin tidak tahan akan godaan, maka godaan-godaan berikutnya akan menyusul. Bahkan, kemudian, terhadap godaan yang kecil pun tidak akan tahan.


“Tahan godaan” inilah yang menjiwai sikap “puasa SPPD” secara konsisten. Tentu ada korbannya. Salah satu korban itu adalah saya sendiri. Beberapa bulan lalu, jauh sebelum keputusan “puasa SPPD” ini ditetapkan saya sudah menyetujui diadakannya konferensi internasional meteran listrik di Bali di bulan Mei. Acara ini adalah acara tahunan dan tuan rumahnya berganti-ganti. Tahun ini Indonesia yang jadi tuan rumah.


Tentu harus ada orang PLN yang pergi ke Bali. Termasuk harus ada orang PLN yang jadi panitianya. Inilah godaan setan paling nyata yang langsung menimpa saya. Adalah salah saya mengapa menyetujui acara itu. Mengapa saya tidak minta jauh-jauh hari agar acara itu digeser sebulan. Mengapa tidak memindah acara itu di Jakarta.


Tapi nasi sudah menjadi sushi. Acara itu sudah terlalu dekat sehingga tidak mungkin diapa-apakan. Maka dalam Rapat Direksi di Pangandaran akhir April lalu saya menyatakan bahwa semua biaya orang PLN yang ke acara itu akan saya tanggung secara pribadi. Beres.


Ternyata belum. Ada kejadian lain yang juga membawa korban. DIROP Indonesia Timur, Pak Vickner Sinaga, mengemukakan bahwa pertengahan Mei itu ada proyek yang harus disertifikasi. Ini juga buah simalakama. Tidak disertifikasi berarti pemanfaatkan proyek tertunda. Disertifikasi berarti harus mengundang orang jasa sertifikasi ke lokasi yang berarti harus ada SPPD.


Mau tidak mau si malakama membawa korban. Orang Minang memang bisa menyelesaikan problem buah yang satu ini dengan cerdas. Kalau dimakan mati ibu dan tidak dimakan mati ayah, maka orang Minang memutuskan untuk menjual saja buah itu: tidak ada yang perlu mati, bahkan bisa mendapatkan uang. Namun dalam kasus sertifikasi ini harus ada yang mati. Pak Vickner harus menanggung secara pribadi biaya mendatangkan orang Jaser itu ke lokasi. Kebetulan Pak Vickner punya restoran masakan Batak yang sangat maju di Balikpapan. Anggap saja ini zakatnya!


Adilkah Pak Vickner harus menanggung “dosa” ini? Menurut saya adil. Sebab proyek itu mestinya sudah selesai bulan-bulan sebelumnya. Kalau saja proyek itu tidak terlambat, tentu pensertifikasiannya bisa dilakukan di bulan April.


Hikmah lain yang ingin kita dapatkan adalah ini: seberapa sudah majunya proses manajemen di PLN. Manajemen yang baik tentu yang bisa mengatasi persoalan ketika persoalan itu muncul. Manajemen yang baik adalah yang juga baik sejak dari perencanaannya. Bulan tanpa SPPD ini sudah diputuskan tiga bulan sebelumnya. Kalau pun saat itu semua jenjang manajemen melakukan proses manajemen yang baik tentu antisipasinya sudah dilakukan dengan baik.


Maka menjelang datangnya bulan puasa SPPD ini saya mengucapkan selamat berpuasa. Ini puasa yang benar-benar puasa karena setelah sebulan berpuasa nanti tidak akan datang yang namanya hari raya! Mohon maaf lahir bathin!



Dahlan Iskan

CEO PLN

0 komentar:

Posting Komentar

Kontributor

Baca juga

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...